Nama : Maghfaruddin
Jurusan : S1 PSIK UR
Etika dan ilmu. Dua hal tersebut mempunyai relasi dalam kedirian masing-masing. Etika jelas memiliki pengaruh dalam eksistensi apa yang disebut ilmu. Sebelum analisis lebih lanjut, perlu sedikit dijelaskan apa sebenarnya etika itu. Etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai “betul” (“right”) dan “salah” (“wrong”) dalam arti “susila” (“moral”) dan “tidak susila” (“immoral”). Menurut Robert C. Solomon dalam Etika: Suatu Pengantar, etika adalah bagian ilmu yang meliputi hidup baik, menjadi orang baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata “etika” menunjuk pada disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya, serta nilai-nilai hidup kita yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku kita.
Etika bisa dibilang sesuatu yang membatasi. Membatasi dalam hal ini memiliki tujuan agar tidak terjadi deviasi nilai dalam sistem masyarakat. Sebenarnya pembenaran atau penyalahan tindakan mempunyai sifat relatif. Karena etika memiliki nilai subyektivitas, mencakup pandangan dan pemikiran individu yang terkadang dianggap ‘berbeda’ dengan kaum mayoritas yang memiliki regulasi dan penataan yang telah dikukuhkan. Etika adalah ilmu yang reflektif dan kritis. Norma-norma dan pandangan moral dengan sendirinya sudah terdapat dalam masyarakat. Hal ini yang akan menciptakan bumping antara yang sudah tertanam dan yang baru datang.
Pada hakikatnya, etika mengandung sebuah pilihan. Kebebasan untuk memilih apa yang akan dilakukan, dijadikan dasar, atau hal-hal lain yang bersifat ‘harus dipilih’. Di sinilah ilmu dan etika membuat problematika. Ilmu yang saat ini semakin berkembang, terkadang mengabaikan nilai-nilai yang telah tertanam. Namun bila dipikirkan secara lebih mendalam, ilmu yang dalam perkembangannya dikekang oleh nilai-nilai, seakan tidak memiliki kebebasan untuk maju. Menurut Aristoteles, jika sebelumnya sudah dipatok apakah bermanfaat atau tidak, ilmu tidak akan berkembang.
Ilmu adalah sesuatu yang ‘bebas nilai’. Mengapa? Karena manusia. Manusia yang bersungguh-sungguh mengkaji dan berusaha mengembangkan ilmu, akan menganggap nilai -bagian dari etika- sebagai salah satu penghambat. Dalam Zubair (2002:72), upaya manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus sebagai simbol dari otonomi manusia itu sendiri. Seringkali melampaui batas kebutuhan manusia itu sendiri, mengancam martabat kemanusiaan, sekaligus dapat membuat manusia cenderung merasa tidak lagi membutuhkan sistem normatif di luar keilmuan dalam menentukan keputusan-keputusan tindakannya. Kita lihat dalam realita sosial. Di mana ilmu dan etika berbenturan. Teknologi-teknologi new economi banyak bersinggungan dengan masalah etika. Misalnya dengan kemajuan teknologi informasi berupa jaringan internet yang menjadi bagian dari komunikasi massa, masalah privacy pribadi menjadi lebih gampang dilanggar yaitu dengan makin mudahnya penyadapan informasi, pencurian data dan lain-lain. Demikian pula dengan perkembangan bioteknologi seperti masalah pangan transgenik, kloning manusia dan sebagainya. Dalam hal ini masalah dignity martabat kita sebagai manusia sering terkesampingkan.
Dalam perkembangannya, ilmu diharapkan memiliki tanggung jawab etis. Memang, kebebasan pengkajian ilmu membuka kesempatan untuk menghasilkan inovasi-inovasi sebagai pembaharuan lebih lanjut. Tetapi harus diingat, kita tidak hidup dalam homofili mutlak. Justru kita hidup dalam keberagaman aspek kehidupan. Etnis, ras, agama dan kepercayaan yang tidak dapat disatukan dalam satu paham yang semua bisa menerima.
Tanggung jawab etis sendiri bukan berkehendak mencampuri atau bahkan ‘menghancurkan’ otonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi bahkan dapat menjadi pengokoh eksistensi manusia. Ilmu juga akan memiliki eksistensi bila tidak melepaskan diri dari etika karena masyarakat mau dan bisa menerima tanpa harus memperdebatkan hal yang ‘menyimpang’ atau dianggap ‘menyimpang’. Karena sekali lagi, mayoritas mempunyai peran. Seseorang yang memiliki kajian dan pengembangan ilmu yang baru, bisa dibilang harus mau ‘berkorban’ apabila hasil kerjanya dianggap tidak sesuai etika sosial. Maka dari itu, ilmu sebaiknya memiliki tanggung jawab etis agar bisa diterima.
Franz Magnis-Suseno, 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, hal. 96.
Robert C. Solomon, 1984. Etika: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, hal.4.
Achmad C. Zubair, 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, hal. 49.
Suwarto Adi. 2007. “Kehidupan Tiruan dan Etika Ilmu”. Terarsip di
<http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/05/opini/3969705.htm>
Arief B. Witarto. 2005. “Kebebasan dan Etika Ilmu Pengetahuan”. Terarsip di
<http://www.beritaiptek.com/zkolom-beritaiptek-2005-10-21%2001:01:59-Kebebasan-dan-Etika-Ilmu Pengetahuan.shtml>
2 komentar:
ilmu bila bukan untuk exam mesti best belajar.
akufobia: ya... harus best belajar, supaye hasil exam memuaskan... :)
Posting Komentar
Habis dibaca, jangan lupa komentarnya y...